Rabu, 23 Maret 2022
"Know What You Own, and Know Why You Own it."
–Peter Lynch–
Indikator
Global Market
Perang Rusia dan Ukraina terlihat memakan korban negara baru. Kali ini hubungan Amerika Serikat (AS) dan sekutunya di Timur Tengah. Melansir Aljazeera, Uni Emirat Arab (UEA) dan Arab Saudi terlihat mengejar kepentingan negara mereka sendiri saat AS mendesak keduanya untuk menghukum Presiden Rusia Vladimir Putin. Hal ini terungkap saat Wall Street Journal memuat pemberitaan bahwa pemerintah UEA dan Arab Saudi menolak panggilan telepon yang dilakukan Presiden AS Joe Biden untuk membahas sanksi minyak kepada negara Rusia. Hal ini menimbulkan sentimen negatif bahwa negara-negara tersebut akan membantu suplai minyak dunia saat Washington menjatuhkan sanksi terhadap Moskow. Selain itu, Arab Saudi disebut sedang dalam pembicaraan aktif dengan China terkait penggunaan mata uang Yuan untuk membeli minyak. Hal ini disebut sebagai salah satu langkah baru guna mengurangi dominasi dollar AS di pasar minyak global. Pembicaraan ini sebenarnya sudah terjadi selama enam tahun terakhir. Namun ketidaksenangan Negeri Raja Salman pada komitmen keamanan AS pada kerajaan beberapa dekade ini membuat pembicaraan kian gencar.
Dalam pidatonya di hadapan National Association for Business Economics, Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan bahwa inflasi di AS sudah terlalu tinggi dan bisa membahayakan pemulihan ekonomi negara AS. Powell juga menegaskan akan terus menaikkan suku bunga sampai inflasi bisa terkendali, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk menaikan sebesar 0.5%. Setelah pidato tersebut, pelaku pasar melihat ada probabilitas sekitar 60% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 0.5% pada bulan depan, setelah menaikkan 0.25% menjadi 0,25%-0,5% pada pekan lalu.
Indonesia
Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11% tidak untuk menyusahkan rakyat. Sri Mulyani mengatakan kenaikan pajak tersebut justru akan memberikan keuntungan kembali ke masyarakat. Adanya kebijakan kenaikan pajak akan digunakan untuk membangun sekolah, infrastruktur, dan subsidi LPG. Sebagai informasi, Sri Mulyani juga memastikan jika kenaikan PPN menjadi 11% tidak akan ditunda. Kebijakan ini juga selaras dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Kenaikan PPN ini juga akan berlanjut menjadi 12% pada 2025.
Sri Mulyani juga mengatakan sektor energi membutuhkan investasi besar untuk mendukung transisi ke energi terbarukan dan mencapai target bebas emisi karbon pada 2060. Sri Mulyani mengungkapkan dunia tengah berupaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Setidaknya ada dua investasi di sektor energi yang diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim. Pertama, investasi pada PT PLN (Persero) untuk membuat pembangkit boleh memproduksi CO2 namun dengan batasan. Kedua, investasi untuk membangun renewable energi. Dalam hal ini, pemerintah akan mengembangkan energi hijau seperti geothermal, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hingga arus laut dan angin.
Sumber data : Bloomberg dan Infovesta (Closing Market).
Disclaimer : Dokumen ini tidak diperuntukan sebagai suatu penawaran, atau permohonan dari suatu penawaran, permintaan untuk membeli atau menjual efek dan segala hal yang berhubungan dengan efek. Seluruh informasi dan opini yang terdapat dalam dokumen ini dengan cara baik telah dihimpun dari atau berasal dari sumber-sumber yang dapat dipercaya dan diandalkan. Tidak ada pengatasnamaan atau jaminan, baik secara langsung maupun tidak langsung dari BNI termasuk pihak-pihak lain dari Grup BNI dari mana dokumen ini dapat diperoleh, terhadap keakuratan atau kelengkapan dari informasi yang terdapat dalam dokumen ini. Seluruh pendapat dan perkiraan dalam laporan ini merupakan pertimbangan kami pada tanggal tertera dan dapat berubah sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan.
Investment Specialist : Tristian Kurniawan, Panji Tofani, Edo Yonathan, Rynaldi Kresna Adiprana, Fetie Nilasari. Alvin Tejo S, Kemal Riayadsyah, Vhannya. B. Fitrah.